Follow

Senin, 20 Januari 2020

S U M M E R



“Dalam satu detik yang sama, jutaan bayi lahir tanpa diberikan pilihan apapun.
Diberkahi hal yang sama dan urat nadi yang dialiri mantra yang sama
Tangisan yang melengking menyeruak, menyapa dunia untuk pertama kalinya.
Mengguratkan senyum, memudarkan lara dalam kalbu.
Bagimana kamu bisa lupa?”

            Nyaman.
Angin musim panas lewat hilir mudik, dedaunan yang jatuh berkejaran, pepohonan bergoyang seperti ada pesta dansa dadakan  ditempat ini. Kurebahkan badan mungil diatas padang ilalang yang mungkin akan protes padaku, matahari begitu hangat, sepintas kupejamkan mata, bau matahari, kemudian seutas senyum terlukis di bibirku. Beberapa detik kemudian, kurasakan teduh diatas kepala, kupicingkan mata enggan, ada bocah laki – laki disana, membungkuk menatapku heran.
            “Hei.” Anak laki – laki itu menatapku polos, matanya lebar, bulat dan berbinar, bibirnya yang nggak terkatup rasanya hampir saja liur anak itu terjun bebas ke pipiku.
            “Tanahnya empuk?” tanya anak itu sambil tersenyum, aku meringis mendengar ucapannya, dua detik kemudian anak itu merebahkan dirinya kasar disebelahku sambil tertawa – tawa girang. Matanya berbinar, walaupun kulit dan rambutnya gelap, bagiku dia begitu menyilaukan.
            “Kamu siapa?”  tanyaku sambil memiringkan kepala
            Anak itu berhenti tertawa, dia terduduk, menatapku sambil tersenyum, lalu mengulurkan tangan. “Aku Matahari.” Ucapnya.
Sesaat angin datang menerpa kami dengan sedikit keras hingga rok yang kukenakan hampir tersingkap,anak itu tersenyum, rambut hitam ikalnya menari dimainkan angin yang nampaknya mengikuti irama waltz. Saat itu aku merasakan, aku melihat matahari sedang jatuh ke tanah, mungkin harusnya saat ini aku mengucapkan harapan.
****
            Semua manusia dilahirkan dengan garis tangan yang berbeda, dengan penempatan yang berbeda, rasanya seperti sedang makan roti tawar dengan berbagai macam varian rasa selai, mungkin aku akan ambil selai strawberry alih – alih marshmallow, aku enggak akan ambil rasa cokelat karena itu pahit, aku tidak suka pahit. Tapi kulit matahari cokelat, namun kurasa dia enggak pahit, mungkin karena namanya matahari jadi dia terbakar  cepat dariku.
            Ngomong – ngomong namaku Hana, sang pencipta bilang artinya bunga, kusuma,sekar, tapi aku enggak peduli itu, yang kutahu namaku Hana dan aku keberatan dipanggil dengan nama sinonim. Kali ini aku sedang membuntuti matahari, mungkin aku seperti bunga mungil yang membuntuti matahari agar proses fotosintesisku lancar, tapi aku nggak menghasilkan zat tepung karena aku bahkan enggak berfotosintesis – aku mengikutinya bukan karena itu, namun karena matahari hampir kehilangan cahayanya.
            Bocah itu kini sudah menjadi laki – laki yang hampir dewasa, dia mendengus berkali – kali sampai terdengar seperti sapi, tubuhnya sehat, masih saja cokelat – tapi mungkin enggak pahit kalo kujilat – tingginya seperti menara eiffel karena aku masih saja pendek dan memang enggak akan bisa tinggi, bedanya, kini rambut ikalnya menyembunyikan mata tajam seperti ujung tombak. Sinar hangat yang dulu terpancar,kini hilang seperti bumi yang berotasi jadi malam hari,aku memicingkan mata sambil mendecakkan lidah sebal.
            Tubuhnya sehat, tapi lebam menguar, pada batinnya, aku enggak suka, matahari itu bersinar dan hangat, kalo mataharinya lebam bagiku itu jadi seperti telur dadar goreng yang gosong karena kekurangan minyak.
            Kusejajarkan langkah dengan  matahari, kuraih tangannya yang gontai dengan tiba – tiba dan dia melihatku heran.
            “Adik, kok sendirian?” Matahari melihatku kebingungan.
            Aku mendengus sebal, “Enak aja bilang adik, namaku Hana, dan aku bukan adikmu.”
Matahari menggaruk kepalanya yang tidak  gatal, “Kamu nyasar ya? Rumahmu dimana? Sini ku antar pulang.” Aku tersenyum sambil mengarahkan jari telunjukku ke Jidat matahari yang tinggi.
            “Itu rumahku, kalau dia nggak bersinar nanti aku enggak bisa fotosintesis, meskipun aku enggak punya klorofil dan enggak menghasilkan C6H12O6 .” ucapku sambil mengembungkan pipi, kulangkahkan kaki sambil berlari menuju antah berantah dan angin bergerak cepat mengganti suasana menjadi padang ilalang.
            Matahari mengedarkan pandangan tak percaya, matanya menatapku heran.
            “Dasar manusia dewasa.”aku mendengus. “ mentang – mentang udah bisa berlarian tanpa tersandung kaki sendiri, seenaknya menjatuhkan diri ke perut bumi.” Matahari memiringkan kepalanya bingung. “ Kamu lupa sepertinya, dulu, saat kamu pertama kali diutus untuk turun ke Bumi oleh sang pencipta, beliau meniupkan mantra berisi nama kepadamu, mantra itu mengikatmu untuk tetap jadi dirimu sendiri, agar kamu tetap bisa hidup sesuai dengan arti namamu dan jalan hidupmu.”  Aku menjentikkan jari kearah langit. “Jadi bersinarlah seperti matahari yang dulu.”
            Mengoceh panjang lebar dengan manusia dewasa menjadikanku mengantuk, jadi aku memilih untuk memutar badan dan menghilang namun Matahari yang kebingungan menarik tanganku.
            “Hana, sebenarnya kamu siapa?”
Aku menguap bosan sambil mengucek – ucek mata. “well, orang bilang aku changeling, hantu, grim reaper, tapi sebenarnya aku elf – peri bunga.” Aku menarik tanganku dan melambaikannya, seraya menghilang bersama desiran angin dan meninggalkan Matahari yang kebingungan kembali ke habitatnya.







-if you want to know his real name, let’s find the “Matahari” phrase in Sanskrit language :)


Minggu, 25 Agustus 2019

A LETTER FOR MAPLE TREE



“Senja yang kulihat bersamamu nggak pernah kelihangan paras eloknya,
Jalanan licin dikota ini, seakan jadi saksi atas semua tawa bahagiamu,
Saat burung – burung mengepakkan sayap, berpulang kerumah
Senyummu yang semanis sirup maple rasanya tumpah diatas kain putih
Menguar melukiskan warna pastel kalem,
Namun kubalas sebuah dosa yang mungkin tak bisa kujernihkan.”

            Dulu.
            Seorang bocah ini nggak pernah mau berpikir jauh kedepan. Melangkahkan kaki mungilnya dijalanan berbatu tanpa alas kaki. Bersenandung sendu, berjalan tanpa arah. Langkahnya terhenti, menatap langit biru yang jauh dan dalam. Ketika rambutnya bergoyang dimainkan angin, ia menemukan satu pohon maple yang berdiri tegar, kurus, menjulang tinggi, tegar walaupun koyak dimana – mana. Hati bocah ini terkesima, ia melangkah kebawahnya tanpa pikir panjang.
            Dulu.
            Bocah ini enggak pernah tau tempat ini apa dan bagaimana, ia hanya  berjalan menyusuri jalanan yang ada. Namun, pohon maple ini seolah mengayun, memberinya tempat untuk pulang, menyebarkan kehangatan tiada kira lewat dedaunannya yang gugur. Ketika surya mulai kembali ke peraduan, dirinya yang kurus dan menjulang terlihat menawan bermandikan cahaya merah jambu – orange.
            Kini.
            Bocah ini sadar, ranting rampingnya terkoyak, dedaunannya rontok setiap hari, dedaunan yang selalu menghantarkan tidurnya dalam kenyamanan. Terlelap dalam pelukan ibu pertiwi. Tapi pohon maple itu tegar, tak sedikitpun ia goyang. Si bocah kembali terkesima, ia berlari memeluk dahan rampingnya erat, tertawa dibawah cahaya rembulan.
            “Apapun yang terjadi padamu, aku ingin jadi bagiannya. Aku ingin berada disisimu hingga dahanmu sudah tak lagi tegar.” Bisik bocah ini lirih, seulas senyum tertarik dari bibir mungilnya.
            Kini.
            Musim dingin hampir tiba. Dahan pohon maple itu terkoyak, berlubang, hama tinggal disana. Bocah ini panik, ia terbangun dari tidur, mengusap dahan pohon maple itu perlahan.
            “Pasti sakit ya? Tunggu disini, aku akan carikan sesuatu untuk menutup dahanmu.” Ujar bocah ini seraya berlari menyusuri jalan, lagi – lagi tak tau kemana. Dipikirannya hanya ada pohon maple itu, berharap menemukan sesuatu yang bisa mengobatinya. Bibir mungilnya komat – kamit merapal doa, memanjatkan doa setulus hati, berharap sang penguasa alam ini mendengar jeritannya.
            Bocah ini terus berjalan, tanpa alas kaki, menyusuri jalan setapak berbatu, kristal salju mulai turun, membalut ibu pertiwi menjadi warna putih. Nafasnya mulai berubah menjadi asap, badannya menggigil, sepintas dirinya ingin mengeluh, Namun, terbayang sosok pohon maple itu tetap berdiri tegak diterpa angin dan hujan, kini ia koyak, salju mulai membebani ranting dan dahannya yang ringkih. Bocah ini akhirnya kembali  berjalan, menyeret kakinya yang mulai bengkak terpapar dinginnya salju.
            Tapi.
            Bocah ini akhirnya jatuh tersungkur, pipinya terperosok ditanah, tergesek dan lebam. Dihadapannya berdiri tegak pohon eek yang rimbun. Diseretnya kakinya kesana, bersandar pada pohon eek tersebut. Dahan pohon eek tersebut berayun – ayun memaksa bocah ini  untuk menutup matanya dan beristirahat. Bocah ini menolak, ditariknya kaki yang memerah, berharap bisa bangkit, namun kemudian sulur – sulur berduri menjerat tubuh mungilnya. Bocah ini meronta, memberontak, membabat sulu – sulur itu membabi buta, tapi tangan mungilnya tiada daya. Bocah ini merintih, darah mengalir dari tangan mungilnya yang sobek dibelai duri, ia ingin segera pergi, pohon maple itu menunggunya. Lagi. Bocah itu meronta, menarik paksa tubuhnya keluar dari jeratan sulur, tubuhnya terluka dimana – mana, salju dibawah kakinya perlahan mulai dibasahi warna merah.
            Kala itu.
            Bocah ini merintih, memanggil – manggil pohon maple itu, berharap ia sudi untuk membantunya. Dirinya ingin menangis, suaranya tercekat, tak mampu bersuara, batinnya merintih, saat ia memejamkan mata, sebuah daun maple jatuh dihadapannya, mendadak tubuhnya jadi hangat, lukanya tak lagi perih. Seorang bocah laki – laki tiba – tiba berdiri disebelahnya, mengangkat sebilah logam tajam, menebaskannya kearah sulur – sulur yang membelit.
            Bocah ini jatuh berlutut ditanah bersalju yang sudah jadi merah. Secepat kilat ia bersihkan sulur yang menempel ditubuh. Kaki mungilnya sontak berlari mengejar bocah laki – laki tadi yang seraya pergi.
            “Anu, Terimakasih.” Ujar bocah ini sambil mengelap pipinya yang tidak sengaja berdarah.
            “Aku cuman enggak sengaja lewat, aku enggak bantu ngapa – ngapain.” Tangkas bocah laki – laki itu sambil tetap berjalan menyusuri salju. Badannya tinggi jakung, ia berjalan gontai, rambutnya yang ikal nampak agak abu – abu akibat salju yang hinggap disana, matanya berkali – kali berkedip, keningnya berkerut akibat ia memicingkan mata – nampaknya dia rabun. Rambut ikalnya makin lama makin abu – abu, dihinggapi banyak kristal salju.
            Bocah ini tersenyum menatap punggung bocah didepannya.
            “Andai aku bisa jadi salju di rambutmu, ringan, nempel padamu kemana – mana, dan pada waktunya nanti akan leleh dan mendinginkan kepalamu, mungkin dia bakal marah – marah kayak kakek – kakek diseberang jembatan itu.” Gumam bocah ini sambil tertawa geli. Menggumamkannya mengingatkan bocah ini pada pohon maple itu, yang selalu ada disetiap ia jatuh, rantingnya sederhana membuat bocah ini rindu akan belaian dedaunannya yang gugur menerpa wajah.
            Kemudian.
            Bocah ini berlari terseok – seok, membawa seikat jerami dibawah derasnya salju yang turun. Dipikirannya hanya ada pohon maple itu, mengkhawatirkan dahannya yang bisa – bisa busuk ditimpa salju.  Matanya sesekali terpejam, dari hati yang paling dalam ia berbisik pada sang penguasa alam, berbisik agar pohon mapple itu baik – baik saja, agar ia bisa kembali mendekapnya dengan penuh kerinduan.
            Kalau saja.
            Bocah ini bisa datang lebih awal. Kalau saja sulur – sulur tadi tidak muncul, bocah ini tidak akan terlambat, ia tidak akan berlumur darah, dan.
            Pohon mapple itu mungkin enggak tumbang.
            Lutut bocah itu lemas, mendadak kehilangan energi, ia tersungkur ditanah, jerami yang dibawanya berserakan. Rahangnya bergetar, suaranya tercekat di tenggorokan. Pohon maple itu kini tertidur, tanah bersalju menjadi alasnya, sisa daunnya berserakan dimana – mana. Bocah ini kalap, ia merangkak, memunguti dedaunannya satu persatu mendekapnya di dada, seakan tak ingin kehilangan bagian dari sosok yang ia sayangi. Air matanya tertahan, tangannya bergetar.
            “Kamu sedang apa?” terdengar suara dari depan bocah ini, seorang bocah perempuan berkuping panjang menyapanya.
            “Aku gagal.” Ujar bocah ini sambil tersenyum getir, mendekap erat dedaunan yang bisa ia kumpulkan.
            “Kenapa?”
            “Aku gagal membalas kebaikannya. Gagal membawanya kembali bahagia.” Suara bocah ini bergetar. “ Andai saja aku kembali kesini tepat waktu, mungkin kini pohon maple itu masih bisa menyambutku pulang. Ia mengajariku berdiri tegar, menghangatkanku dengan kasihnya saat badai tiba.”
            Bocah berkuping panjang itu tersenyum. “Itu juga yang aku dengar darinya.”
            Bocah ini terkejut, matanya membelalak. “ Maksudmu?”
            “Saat dirimu terjerat, pohon mapple itu memanggil – manggilku, meminta keajaiban. Batinnya teriris melihatmu berlumuran darah, melihatmu terkoyak.” Bocah berkuping panjang itu berjongkok. “Ia bilang telah gagal menjagamu, matanya sayu. Aku ingin dia tau bahwa selama ini ia telah banyak berjuang. Dengan sepenuh hatinya, dan kamu, menerimanya dengan sepenuh hatimu. Tapi perlu ada yang namanya rintangan untuk setiap jalan yang ingin mulus.” Ia tersenyum lagi. “Mangkanya aku pinjami dia wujud bocah dan ia langsung kelabakan pergi menemuimu.”
            Bocah ini bergetar mendengarnya. “Oh jadi bocah laki – laki itu dia.” Bibirnya membentuk simpul senyuman. “Sudah kuduga aku ingin jadi salju yang hinggap dirambut ikalnya. Aku ingin memperbanyak diri dirambutnya biar dia keliatan kayak kakek – kakek .” bocah ini berjalan tertatih. Menebarkan daun yang dia dekap diatas dahan pohon mapple itu. Menciumnya lembut sambil tersenyum.
            “Aku harap bagian tubuhmu yang tersisa masih bisa tumbuh, dan aku harap jiwamu masih disini, agar aku bisa mendekapmu lagi.” Bocah ini tersenyum lalu berjalan menyusuri gelapnya malam.
            Kini, apalagi.
            Bocah ini meringkuk memandangi air danau yang tenang tak beriak. Ia memeluk lututnya, matanya leleh akan air mata, tubuh mungilnya bergetar.
            “Kamu sedang apa?” lagi – lagi bocah berkuping panjang itu datang menyapanya.
            “Aku lagi mengeluarkan emosi.” Ujar bocah ini serak.
            “Kenapa tadi kamu masih bisa tersenyum?” kuping bocah itu naik.
            Bocah ini tersenyum. “Karena pohon maple itu lebih suka melihatku tersenyum, ia sudah melihatku terkoyak, ia tidak mungkin menerima air mata bocah.” Ujarnya.
            Bocah ini menatap langit malam yang kelabu tanpa bintang.
            “ Kamu tau? Aku bersyukur bisa bertemu dengannya. Berbagi masalah dan dinginnya malam bersama. Tapi aku enggak bisa apa – apa, enggak becus juga.” Bocah ini menatap bocah berkuping panjang disebelahnya. “ Aku takut menyakitinya dengan dekapanku. Tapi jujur, aku masih ingin – sangat ingin – jadi butiran salju dikepalanya.”
            Bocah berkuping panjang itu tersenyum. “Apa yang kamu lakukan apabila dia kembali tapi tidak untukmu?”
            Bocah ini tersenyum menatap langit. “Aku rasa aku baru saja kehilangan birunya langit, sama seperti aku kehilangan orangenya maple yang selalu menguar dimataku.” Bocah ini berdiri. “Aku mungkin bukan salju dikepalanya, tapi bukannya aku masih boleh mendoakan dan menantinya?” bocah itu mendongak lagi, mengulurkan tangannya ke langit.
            “Terimakasih. Aku masih menunggumu.”
            Bocah berkuping panjang itu bangkit dari duduknya. “Semoga perasaanmu tersampaikan.”

Amazing grace, how sweet the sound they save a wretch like me.
I once was lost but now i’m found, was blind but now, i see
T’was grace that thaught my heart to fear, amnd grace my fear relieved
How precious did, that grace appear
The hour i first believed.

Yang ku miliki hanya kata, sajak tlah kuselipkan bersama angin,
Agar ia membelai rambutmu, meringankan susah jiwamu,
Yang kumiliki hanya kata, kurangkai dari hati ini,
Ia murni dan tak tercemar, dan mendamba satu hal, kebahagiaanmu.
Letakkan letihmu, kedalam sajak kisah ini
Jika kau merasa sendiri, selimuti tubuhmu dengan sajakku.

-       For P.K.A.K.I

Senin, 03 September 2018

A LETTER FROM THE EARTH



“someday,i hope tonight will be full of stars. The blank space will dissapear. Time has stopped,and the most important. You’ll be here.”

            Jalanan itu lengang, berliku, berdebu. Dedaunan kering sesekali berterbangan seakan tak lagi diharapkan partisipasinya dalam kehidupan, dijalan yang  menikung tajam ini, ada banyak saksi yang mungkin tak pernah kau sadari melihatmu setiap detiknya. Terkadang dia meringkuk, menelaah dan menatapmu dalam syahdu. Matanya melebar menanyakan masih adakah rasa empati dalam jiwa setiap manusia yang lewat.
            Bahu jalanan yang terbengkalai menyisakan debu – debu dan para makhluk yang tak dikehendaki keberadaannya oleh hingar – bingar peradaban. Anjing – anjing kudis yang pincang,kucing bermata satu,tikus curut yang lalu lalang,ataupun onggokan  boneka kusam yang sudah robek disana sini,bagai gadis penjual korek api yang tidak sengaja membakar rambutnya sendiri karena frustasi.
            Well, disana jiwa rapuh ini singgah. Terdiam, termangu. Lidah ini kelu melihat damainya peradaban dalam ketersisihan. Sejenak ada rasa ingin berteriak,melontarkan untaian ritme kesakitan,yang mungkin hanya mereka yang tau rasanya. Hingar – bingar yang katanya toxic kebahagiaan yang mutlak, membunuh sedikit demi sedikit rasa damai. Kau tau? Saat matahari mengucapkan sampai jumpa pada langit biru, langit akan terasa damai,semburat oranye seolah mengisyaratkan akankah mata masih bisa mengedarkan padangananya esok hari? Ataukah dia akan beristirahat membawa raga dalam ayunan keheningan panjang.
            Tikus curut ditikungan itu berdecit, jiwa – jiwa hampa disana tersadar, bukankah manusia sering mengisyaratkan tikungan sebagai area rawan kecelakaan? Bagi kami, tempat itu adalah muara dimana obsesi dan frustasi berkumpul. Meraung – raung menciptakan gemerlap palsu, merobek dimensi dan membunuh jiwa – jiwa malang yang hampa.
            Jiwa ini termangu,melihat tujuan yang dulu indah, sekarang kian meredup. Tiap detik berlalu, membentuk symphony waktu yang sedikit demi sedikit menggugah  ruang dan waktu. Sebuah tangan mungil yang gelap menyentuh jiwa ini. Dingin. Hampa. Namun suaranya mampu membuat changeling berubah menjadi burung gereja. Dia tersenyum, rambut ikalnya yang kusut dimainkan angin. Bibir keringnya bergetar,menggumamkan sebuah lisan yang sulit diterjemahkan. Simpul bibirnya tertarik, lalu senja menghiasi langit dengan cantiknya.
            Sekilas jalanan itu menjadi sedikit lebih indah. Gadis – gadis kecil berdiri menyalakan termaram, berlarian menyambut malam, anjing – anjing bernyanyi dengan lolongannya yang menyatakan kebebasan. Semilir angin bersiul merdu, menyejukkan jiwa yang entah ingin berjalan kemana. Dedaunan yang kering beterbangan, bergesekan pelan, membawa dunia menjadi gulita.  Sebuah tangga – tangga cahaya berpendar dari temaram yang tercecer dibahu jalan.
            Denting bel sebuah sepeda ontel membuat semuanya buyar. Menyadarkan bahwa kini tangan ini berpendar, mengisyaratkan dalam setitik cahaya senja akan kembali datang, menghantarkan jiwa – jiwa frustasi ke peraduan. Mengajaknya tersenyum lewat rambut ikal kusutnya yang dimainkan angin. Menyadarkan jiwa ini bahwa,
I’m still alive today.

“This day isn’t rain, the sky is so clearly orange. I see smile in this sky, i saw love, i saw a way, that hard to reach, with my sorrow and with my guilty. Wish u were here, when the rain came and make my hair wet. And when dawn came outside my window.”


Ps : Dosen saya berkata, “Tidak usah pedulikan grammar” :’v




Sabtu, 22 Oktober 2016

THE HUNGRY BANANA - Part 2


FOR The Alien boys who inspired me... (/’v’)/
“The chance what lost quickly in front of your eyes....
Maybe can come back in the end of your life”

            Kelu.
            Tidak peduli berapa banyak dia mencoba menghangatkan tubuh didepan perapian sederhana – yang emang kelewat darurat – rasanya lidahnya tetap saja kelu. Seakan mencoba mendapat cuti agar tidak digunakan.
            Rian menatap sekelilingnya nyalang,tangan kanannya sedaritadi memegangi perutnya yang terasa perih. Bukan kelaparan seperti awalnya. Rian yakin,rasanya tadi ada sesuatu yang sudah berhasil mengeksplorasinya.
            Rian memiringkan kepalanya linglung. Terlalu sibuk berspekulasi layaknya Sherlock Holmes kemalaman sampai – sampai dia tidak menyadari kalau sejak tadi ada seorang gadis yang terlihat kesal dihadapannya.
            “Hei.” Cewek itu memanyunkan bibirnya. Tangan kanannya membawa wadah berisi cairan mirip cokelat. Berkali – kali cewek itu mengayunkan rambut legamnya yang dikuncir kuda acakadut sangking kesalnya. “Kamu mau hidup atau enggak? Darahmu enggak bisa berhenti dengan sendirinya lohh!” cerocosnya.
            Rian mengerjapkan matanya. Membuyarkan hayalannya dan beralih menatap gadis dihadapannya dengan gelagapan.
            “Eh, i – iya? Ada apa ya?” tanya Rian asal.
            “Aku nanya kamu masih betah hidup atau enggak?!” ucap gadis itu kesal. Matanya menyipit,nyaris saja ia melemparkan cairan cokelat kental yang dibawanya kewajah abstrak Rian.
            “Maaf?” Rian masih saja bertanya linglung. Namun,yang ditanya hanya menghela napas sambil memutar matanya kesal. Seolah – olah bocah dihadapannya ini enggak tau satu ditambah satu sama dengan berapa. Gadis itu menjentikkan telunjuknya yang ramping kearah perut Rian.
            “Kamu ditikam.” Ujar cewek itu enteng.”Masa kamu enggak ngerasa ada yang aneh?”
            Rian merasa baru saja ada 200 kg prasasti yupa menghujani tubuhnya. “Ditikam?!” cerocosnya.”Pantes aja ini perut rasanya perih.” Ditengoknya perutnya dengan konyol,dan,selamat! Baru saja Rian lihat ada lubang berdiameter 5 cm diperut kempesnya. Anehnya,bukan cairan merah layaknya saus tomat yang keluar dari sana,melainkan lelehan cokelat panas.
            Gadis didepannya mendelik sejenak,sejurus kemudian tertawa terpingkal – pingkal sampai – sampai buntut kudanya berkali – kali terurai diudara.
            “Kamu ini lucu ya!” ucap gadis itu tersenyum segar,ia mengulurkan tangannya yang pucat. “Azure. Azure Vienna.” Lanjutnya. “Namamu siapa?”
            Rian menyambut uluran tangan Azure malas. “Rian.” Ucapnya datar. “Rian Herllington.” Mata Rian menatap Azure bimbang. “Kalau enggak keberatan,boleh aku bertanya?”
            Azure berdiri, sedikit melompat kekanan – kekiri. Melemparkan wadah yang dibawanya,menjentikkan telunjuknya kearah perut Rian yang terluka dan ajaib! Cairan cokelat kental dalam wadah berubah menjadi kristal cokelat gemerlapan yang beterbangan menutup lubang diperut Rian.
            Rian hanya bisa nyengir. Rasanya sedikit mengerikan saat mendapati kristal tadi beraroma cokelat mintz. Azure tersenyum jenaka,menambahkan beberapa potongan kayu kearah perapian,kemudian berjalan mendekat kearah Rian.
            “Katakan apa yang ingin kau tanyakan.”
            Menelan ludah,sedikit terasa aneh disini. “Well,aku tau tempat ini, sapnot – atau apalah yang kalian bilang – emang abnormal. But, aku baru saja datang kesini dan  menurutku,semua hal disini terasa enggak nyata – sama sekali enggak.
            Entah matanya yang bermasalah atau memang nyata. Tapi kali ini,Rian mendapati Azure menyeringai,tatapan matanya yang jenaka berbalik menjadi menusuk. Entah kenapa Rian serasa baru saja ditatap oleh Joker. Api perapian berkobar aneh walau tak ada angin.
            “Sapnot. Disini,kamu akan merasakannya, alasan mengapa kamu ada disini. Kalau sedikit saja kamu ceroboh,atau meremehkan dunia ini.” Azure menerawang jauh kearah pohon cemara runcing yang malah tampak mirip ladang jarum. “Mungkin saja ‘dia’ akan kembali menyapamu.”
            Rian merasa tengkuknya mendingin. “Dia siapa maksudmu Azure? Tolong jangan buat ini jadi semakin ambigu.”
            Azure mengedikkan dagu kearah perut Rian yang kini telah kembali seperti semula. “Orang yang menikammu.” Tangan kanannya berpose seolah menggenggam  buku,tak lama kemudian muncullah sebuah buku tebal bersampul merah pucat ditangannya. “ Mereka enggak segan – segan mengesekusi siapa saja yang enggak percaya atau enggak mau mengakui kehebatan sapnot.”
            “Lagian,sejak awal portal mengantarmu kesini,saat itulah kamu resmi ditunjuk untuk mengikuti game ini. Dan aku sendiri juga enggak tau dimana akhirnya.”
            Rian menelan ludah,rasa darah. Ia menatap gadis dihadapannya seolah baru saja menemukan loli ghotic paling sadis dalam game,sebelum keberaniannya terkumpul untuk buka mulut.
            “Jadi? Kamu juga bernasib sama denganku?”
            Azure menoleh celingukan,mendadak dia terpingkal – pingkal seperti baru saja mendapati kodok terbang dengan sayap baja. “Ya enggaklah! Aku memang penghuni hutan ini.” Gadis itu menjentikkan telunjuknya. “Sebut saja aku NPC.” sudut bibirnya tertarik membentuk simpul seringaian yang tajam dibawah bulan purnama.


To Be Continued....


Hi guys! long time no post :3.
akhirnya ff ini dapet part 2 juga :'v . Oke,sedikit penjelasan nih,jadi si Rian nyasar kedunia aneh yang bernama sapnot. lha,disana itu semuanya terasa kek alam dongeng,semua yang ada disana itu bisa dimakan. Dipart ini  Rian ketemu sama cewek barbar yang nantinya bakalan jadi kunci cerita selanjutnya. Okeyy... Tunggu update an selanjutnya ya guys (/'v')/          

Jumat, 12 Agustus 2016

Why must always do a exercise,if you can enjoying your life in the spare time?

Hai guys ! ^^
Long time no post..
Yea.. saat post ini diposting,mungkin kalian akan menemukan banyak sekali topik enggak nyegerin. Well,maklum author amburadul xD

Umm.. kali ini,aku enggak akan nge - riview atopun ngeposting fanfict. Cuman mau sedikit numpahin unek - unek doang xD.

Jadi siswa disuatu sekolahan pasti rasanya nano - nano kacang,ya kan? banyak rasa sih,apalagi dibangku sekolah menengah atas / kejuruan. Well,orang bilang masa ini adalah masa paling indah,namun bagiku enggak jarang harus nelen pil pahitnya bangku putih abu - abu ini.

Gimana enggak?
tugas,tugas,tugas,tugas sampai - sampai mau sekedar hangout keluar bareng temen aja masih ada beban. apalagi kalo DL pengumpulannya mepet banget. haduh,kantung mata langsung jadi kek panda XDD.

Paling males lagi kalo tugasnya kelompok. Yang kerja 1 yang dapet sekampung//ehh xD. Tapi ya gitulah masa - masa sekolah.

Nyebelin? Iyalah
Seneng? iya juga
Pengen break sehari? sering

Nahh,disini nih masalahnya. Tugas yang membludak sering kali mengakibatkan stress berkepanjangan dan beban pikiran dikalangan pelajar. Buat pelajar yang terbiasa enggak bisa tenang saat tugasnya belum selesai,jelas ini masalah..

So guys! nikmati sedikit hidupmu!
Manfaatkan setidaknya seminggu sekali hangout bareng teman - teman kamu. project enggak selesai - selesai kalo kamu terus - terusan bad mood.

Yuk! bagi orang - orang sesama berbeban pikiran (?) lupakan semuanya sehari saja ^^
Do whats can make yourself enjoy,and calm your brain :v /


Rabu, 25 Mei 2016

INTRO [THE HUNGRY BANANA Part 1]


Shining after dark –
  
FOR H.S.M.P 

“Gila bukan berarti mustahil
Masuk akal bukan berarti nyata
Kalau kau mencampur adukkan segalanya,
Kurasa kau butuh 5 ton pottasium”

            Anak itu menguap.
            Mengusap matanya yang disembunyikan kacamata berlensa kuningnya. Ada serat – serat sinar surya yang berhasil membobol tirai kamarnya. Ia memutar mata enggan,tangannya mencoba menggapai – gapai ponsel yang tergeletak damai dimeja tak jauh dari tempatnya duduk.
            Well,dia memang duduk,tapi kesadarannya mungkin masih tersangkut diportal antara dunia game dan realita. Diejanya jam digital yang terpampang diponselnya. Pukul 6 A.M. fantastisnya,cowok berambut pendek ini belum menyentuh ranjangnya sama sekali. Matanya perih,mungkin saja kini bagian putih dimatanya sudah berubah menjadi berseraat merah pekat dan nampak mirip panda.
            Biarlah,toh ujian sudah selesai. Setidaknya itulah yang dipikirkan Ryan saat berusaha mengumpulkan serpihan jiwanya yang masih terombang – ambing diantara dua banyak dimensi.
            Ryan berusaha menggerakkan kakinya yang mulai berat akibat 7 jam menatap layar monitornya untuk memainkan sebuah game yang sedang booming kesukaannya. Diputarnya daun pintu kamar dan bagus! Tak ada satupun manusia yang ada dirumahnya. Tak satupun.
            Well,lumrah memang ia menghabiskan waktunya didepan monitor atau ponselnya sementara orangtuanya sibuk dengan urusan profesi. Itu bukanlah masalah. Hanya saja,kini perut Ryan mulai menggelar sebuah recital,meraung – raung.
            Semandiri – mandirinya seorang remaja laki – laki yang normal, mereka enggak akan bisa mengolah suatu makanan saat kondisi mereka seperti Ryan sekarang. Oh,betapa mungkin katak sudah tertawa melihatnya,Ryan hanya bisa mendecakkan lidah saat mendapati meja makan,kulkas kosong dan tak ada satupun bahan mentah yang bisa diolah.
            “Oh,Thanks God.” Gumam Ryan pasrah.
Dan disinilah dia berdiri,menatap ranjangnya dengan rasa kantuk luar biasa,belum lagi sympony perutnya masih berlanjut.
            “Mungkin kalau aku lanjut nge – game,semua ini akan jadi sebuah kebohongan.” Ujarnya sembari menarik sudut bibirnya yang kering,menyeringai aneh saat cowok penggila buah pisang ini berjalan dengan gaya ambigu menuju laptopnya,daan.
            “BRAK!”
Bukannya sukses kembali kezona nyaman,kaki Ryan terpeleset ubin licin bekas tumpahan cairan pembersih lantai yang dititipkan bundanya tadi malam. Sungguh,mungkin Dewi Fortuna tak sedang lewat dihadapannya.
         Ryan ingin mengumpat,tapi mulutnya penuh dengan lumpur. Anehnya,lumpur dimulutnya berasa cokelat super mahal yang biasanya ia makan waktu weekend. Tapi,itu bukan hal yang paling membuatnya bingung kali ini. Pemandangan kamar tempatnya jatuh telah berubah 180 derajat. Kini dihadapan matanya terhampar sungai keruh berwarna cokelt namun beraroma manis dan berasa hazelnutt.
      Terdapat hiruk – pikuk disana,bunyi lonceng kastil penanda pagi tiba dan gelak – tawa segerombol anak kecil. juga seorang penjaja koran yang ramah menceritakan headline news hari ini.

      Tunggu dulu,orang? Bukan. Percaya atau tidak,bukan orang biasa yang ada disana,melainkan makhluk menyerupai manusia dengan rambut buah,mirip buah yang berevolusi. Dimensi yang terhampar didepan matanya kali ini nampak tak stabil dan dipenuhi banyak celah.
“Yea! That way. Thanks god!” secepat mungkin Ryan mengumpulkan semua tenaga yang tersisa ditubuhnya untuk terpusat dilututnya. Mencoba berlari kearah retakan dimensi.
“KLONTANG! PRAAKK!”
“Sekarang apa lagi?” Pikirnya beringas. Dimuntahkannya cairann lumpur hazelnutt yang tadi sempat dia telan tadi. Kupingnya serasa disemprot dengan jutaan kosa – kata alien yang jelas enggak dipahaminya.
Ryan dilempar dengan segulung koran ditangannya. Dihadapannya berdiri tegak seorang pria  pendek berkulit merah dan berambut hijau kerucut mirip tomat. Mulutnya masih berkomat – kamit,telunjuknya yang berlendir berkali – kali ditusukkan kepipi Ryan.
“Jalan hgdauilhalidgb lkahd.ayldu a/codp” rasanya itu yang keluar dari mulut pria tomat dihadapan Ryan. Geram,dia berdiri.
“Aku enggak tau kamu ini apa,dan ini dimana! Yang kutahu berhenti mengomel dan harusnya kamu enggak pernah menggagalkan aksi melarikan diriku bodoh!” Ryan menunjuk lubang dimensi yang sudah sepenuhnya menghilang.
Pria itu menggaruk kepalanya sejenak,kemudian menampar kedua telinga Ryan dengan kedua tangannya yang berlendir.
“Argh! Apa maumu,huh?!” Ryan berjengit saat lendir tersebut menggerogoti saraf pendengarannya.
“Sudah kedengaran?” pria tomat itu tersenyum mengulurkan tangannya. “Kurasa kau orang baru,jadi enggak paham bahasa kami. Sekarang harusnya kamu sudah paham.”
Ryan hanya bisa mengetuk – etuk telinganya yang jadi gatal sambil mengangguk enggan. “ Ngomong – ngomong ini dimana? Rasanya tadi aku terpeleset dilantai kamarku bukan disini.”
Pria itu tidak menjawab,hanya menunjuk segulung koran yang kugenggam. Kubuka,lembaran berwarna cokelat yang lengket. Ada tulisan “sapņot” dimana – mana. Dengan konyol Ryan membuka mulut sotoy.
“Tempat ini sapņot?”
Lagi,pria itu mengangguk. “sapņot.” Ujarnya. “Adalah tempat dimana takkan ada orang yang kelaparan. Sugestimu pasti hebat sekali sampai portal dimensi ini terpanggil.” Pria itu membalik badan,menjauh. “Ngomong – ngomong,namaku Jeff,pastikan tak ada noda diususmu saat aku memenggalmu dipertemuan yang selanjutnya.
Kelu. Rasa laparnya sudah hilang sejak kakinya menapak tanah asing ini. Angin menderu menuntut pembalasan. Padang jamur meraungkan lagu penderitaan. Jelas ini bukanlah hal bagus.
Seorang anak perempuan normal. Manusia! Ya ! Manusia,berjalan mendekat. Bagus! Tapi tunggu,ada sesuatu digiginya. Tidak! Seseorang tolong katakan itu—
“TRAKK.”

-                     To be continued -

            
luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com